PRISTIWA SUBUH 1965


Ketika membaca dan mendengar  kata G30S/1965 tentunya kita akan teringat akan Partai Komunis Indonesia (PKI), sejarah yang sampai sekarang masih penuh dengan  misteri. Kita harus mempelajari sejarah, why? Karena dari sejarah kita bisa banyak belajar termasuk tentang PKI ini. Ketika mendengar kata PKI kita pasti mengingat kembali tentang pembrontakan, penangkapan, dan penyiksaan.

Tahun 1965 tentunya  menjadi tahun yang bersejarah bagi bangsa ini, ketika para jendral diculik dan dibunuh dengan tidak manusiawi oleh sekelompok orang dilubang buaya.  Dalam peristiwa ini ada beberapa berita rekayasa juga, yaitu mengenai pesta seks yang  dilakukan di Lubang Buaya. Akibatnya   banyak yang menjadi korban termasuk wanita remaja menjadi icon  bugil di berita  surat kabar, mereka diberitakan bahwa ikut terlibat di dalam peristiwa lubang buaya. Salah satu  organisasi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang sangat berpengaruh dalam bidang gender  dan sosial pada masa 1965  juga dituding terlibat dalam perstiwa tersebut. Tetapi kalau kita membaca literatur  yang lain ada yang menyebutkan mereka hanya korban, dan ada juga yang termakan omong kosong media yang sengaja direkayasa.

Ada salah satu lagu yang menjadi tidak enak didengar paska kejadian subuh 1965. Lagu tersebut merupakan lagu yang berasal dari kota Bayuwangi “Kembang-kembang Genjer”. Lagu ini begitu masyur dikalangan masyarakat Bayuwangi akan tetapi setelah peristiwa subuh 1965 semuanya berubah, ketika orang mendengar lagu ini maka akan diplesetkan untuk menghina para pelaku yang melakukan keganasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh PKI,  bahkan orang yang menjadi korban salah tangkap yang disangka terlibat di dalam PKI juga ikut terkena imbasnya.

Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi partai terlarang (partai haram) karena sudah melakukan hal - hal yang merugikan negara. Pada masa Soeharto semua perhatian intelejen, militer, dan polisi terfokus pada PKI dan semua orang dan organisasi yang berkaitan dengan PKI, termasuk organisasi GERWANI yang dituding ikut ambil ahli dalam PKI.

Buku yang ditulis oleh Fransisca banyak menjelaskan tentang kekejaman yang terjadi pada masa itu. Banyak orang yang ditangkap tanpa tahu kesalahannya apa. Mulai dari penangkapan terhadap seorang wanita yang berada di Parambanan, dia tidak tahu apa kesalahannya tiba  - tiba rumahnya digeleda saat subuh dan diah arus ikut aparat karena sudah bergabung digerakan GERWANI.    Dia harus dibawak oleh aparat dan mendapat penyiksaan yang sangat sadis. Ketika diintrogasi dia ditelanjangi, sering di pukul, dan harus mengaku bahwa dia terlibat dalam insiden pembunuhan jendral. Wanita ini tidak mau mengaku bahwa dia melakukan hal tersebut, akibatnya dia selalu mengalami penyiksaan fisik dan psikis.



Jujur pertama kali aku  membaca buku kembang – kembang Genjer ini, rasanya sangat mengerikan bahkan membuat bulu kuduk merinding. Karena apa? karena tidak terbayang dengan apa yang sudah mereka alami kala itu, mereka harus mengaku kesalahan yang tidak mereka perbuat, mengalami penderitaan  fisik, dan psikis, dan pelecehan seks yang membabi buta. Bahkan diantara mereka harus melakukan hal yang tak senonoh para tahanan harus mencium penis para jendral yang melakukan introgasi1.. Meraka dipaksa, jika kita berfikir dengan logika, mana ada orang yang sudi melakukan hal tersebut, tapi mereka tidak ada pilihan lain, jika mereka mengelak siap – siap saja akan mengalami penyiksaan yang lebih pedih di bungkam habis – habisan, tak jarang ada yang mau mati jika di bungkam dengan kerasnya. Para aparat sengaja melakukan hal tersebut untuk mempermaikan tahanan baik wanita maupun laki – laki hanya untuk kepuasaan mereka semata.

Penyiksaan yang dialami para tahanan tidak hanya berlangsung disana saja, merak harus ditahan di pelatungan  atau tempat penjara lainnya jauh dari keluarga. Penjara meraka  tidaklah  seperti sekarang,  penjara kali itu sangat sempit, gelap, makanpun sangat kurang. Bahkan diantara para korban harus mencicipi sel bekas gudang yang banyak kutu , gelap dan basah. Sebagian dari meraka tidak memakai baju, karena bajunya sudah dilepasin oleh para petugas saat diintrogasi. Ada juga yang mengalami pendarahan sampai 3 bulan lebih ketika ditahan sebagai dampak penyiksaan yang dialaminya saat introgasi. Didalam tahanan mereka ditemani kutu – kutu dan bau busuk, udara dingin, dan kelaparan, lengkaplah semua penderitaan yang mereka terima. Para korban ditahan bukan dalam waktu yang sebentar kawan, kebanyakan dari mereka ditahan diatas 10, 15, bahkan 20 tahun. Mereka ditahan  tanpa alasan yang jelas dan harus mengikuti semua perintah aparat kala itu.  

Paska keluar dari tahanan mereka juga harus menelan pil pahit karena penderitaan sikis. Banyak dari tahanan  mengalami trauma berat akibat penyiksaaan yang sudah mereka terima selama ditahan. Alhamdulillah sebagian dari mereka masih bisa menikah dan memiliki keturunan. Akan tetapi sebagian lagi tidak bisa memiliki keturunan akibat penderitaan yang mereka alami selama di penjara. Mereka bisa keluar dan bisa hidup normal itu merupakan anugrah terbesar. Ketika dilakukan waawancara untuk penulisan buku kembang – kembang genjer para korban sudah tua, umur semuanya sudah diatas 60 tahun. Akan tetapi mereka ingat  detail penyiksaan yang sudah mereka alami selama puluhan tahun dipenjara dari mereka remaja  hingga dewasa. Status menjadi mantan napol juga menjadi tekanan batin.

Penderitaan psikologis yang mereka alami terus berlanjut sampai mereka tua, karena mereka adalah mantan napol. Ada seorang ibu yang ditahan ketika peristiwa subuh 1965 dia harus meninggalkan anak – anaknya yang masih kecil. Bisa kita bayangkan ketika  seorang ibu harus berpisah dengan sang anak. Sang ibu 15 tahun ditahan dipenjara, ketika  keluar dari  penjara harus menahan kenyataan yang pahit  kareana anaknya  tidak mau mengakui kalo itu ibunya. Anakanya termakan berita yang tersebar di surat kabar dan pembicaraan masyarakat  bahwa ibunya terlibat dalam pesta seks dilubang buaya.  Sang ibu sudah menjelaskan kepada anaknya jika beliau hanya korban, akan tetapi sang anak tidak bisa menerima  alasan itu semata – mata karena dia sudah dianggap sebagai anak napol yang keji dalam masyarakat. Setelah beberapa tahun akhirnya sang ibu dengan usaha yang keras bisa meyakinkan sang anak bahwa dia hanya korban. Anak  - anak yang hidup dalam kondisi tersebut tentunya tidak akan hidup normal karena dia akan mendapatkan tekanan dari lingkungan teman – tamannya  dan masyarakat. Itu semua akibat media, yang bisa memutar balikan fakta dan rekayasa peristiwa yang sudah dibuat pada masa itu.

Selain cerita diatas ada juga kisah tentang “harga sebuah kesetiaan”  yang menceritakan kisah istri yang bernama Tarni yang  tak lain adalah istri Bung Nyoto, salah satu aktivis PKI2. Ketika mereka menikah Tarni tidak tahu menahu aktivitas politik yang dilakukan Nyoto.Dia hanya tau bahwa suaminya adalah orang yang bertanggungjawab terhadap keluarganya. Sampai suatu saat Tarni dan keenam anaknya harus berpindah – pindah tempat tinggal karena mereka terus dicari oleh para petugas. Hal ini terjadi karena aktivitas suaminya di PKI. Mereka berpindah rumah dari Jakarta ketempat lain yang aman, menumpang dimana – mana agar bisa selamat dari kejaran aparat. Perjuangan wanita seorang diri yang harus membawa keenam anaknya padahal sang ibu juga sedang mengandung. Nyoto tetap menjaga istrinya dari kejauhan karena tempat yang mimisahkan mereka, kemudian dia bertemu dengan  istri dan anaknya, akan tetapi hal tersebut tidak lama karena yang sangat di cari adalah Nyoto dan dia tertangkap oleh aparat. Paska peristiwa tertangkapnya Nyoto, Tarni terus berpindah dari satu – tempat ketempat lain. Bagaimanapun melarikan diri tentunya akan tertangkap juga, akhirnya  Tarni  ditahan  beberapa saat untuk dimintai keterangan. Tarni tidak pernah menyesali semua yang terjadi, dia hanya tahu arti kesetiaan. Tarni tidak tahu dimana tempat persis bung Nyoto dimakamkan, yang dia tahu bahwa suaminya sudah tewas, kabar yang Ia dapatkan dari teman Nyoto. Dia hanya mengenang  bahwa suaminya adalah sosok yang bertanggungjawab.

Aku sempat berfikir sebenarnya apa yang menjadi kesalahan terbesar PKI? apakah hanya karena pembuhuhan jendral di Lubang buaya? Tapi masa iya banyak orang yang menjadi korban salah tangkap karena dituding ikut terlibat dalam PKI? Sekejam itukah PKI? Atau sebaliknya malah negara ini yang salah, hanya mau membalas dendam?. Siapakah yang benar? Negara? Atau PKI? Karena sudah banyak orang yang menjadi korban. Aku terdiam  dan terus mencari jawaban. Semua pertanyaan terjawab ketika aku berkunjung ke kota Madiun Jawa Timur yang menjadi salah satu saksi bisu keganasan PKI. Dari sumber terpercaya bahwa yang membuat aku merinding disini adalah keganasan PKI yang membunuh para Kiyai, orang – orang penting, dan masyarakat dengan semena – mena. Manusia digorok layaknya binatang padahal mereka tidak ada kesalahan. Inilah gerakan PKI yang di bawa oleh Muso  dan kawan – kawannya, dengan idiologi komunis yang mereka anut.

Kawan inilah sejarah negeri kita, keganasan yang terjadi dimasa lalu sungguh membuat aku terdiam. Orang – orang disiksa bukan karena kesalahannya, perlakukan seks yang tidak manusiawi. Sampai  sekarang memang banyak hitam diatas putih. Orang – orang sekarang tidaklah seganas itu lagi untuk bermain fisik. Akan tetapi tetap keadilan dinegeri ini harus tetap ditegakkan karena masih banyak orang  yang dipenjara bukan karena kesalahan mereka, mereka hanya korban. Akan tetapi orang – orang yang jelas bersalah bisa berkeliaran bebas di negeri Indonesia ini. Lucukan?

Semua cita –cita bangsa ini ada di tangan kita kawan, generasi penerus bangsa. Jadilah generasi yang jujur, yang tidak akan terpikat oleh kemanisan dunia yang fana. Jadilah orang yang akan memberikan kontribusi terbaik untuk kemajuan negara ini. Biarkanlah sejarah itu banyak yang pahit, asal kita tidak  melakukan dan mengalami kepahitan untuk kedua kalinya. Itulah guna belajar sejarah agar kita bisa mengambil hikmah untuk kehidupan yang lebih baik kedepannya. Jika kita masih terperangkap di hal yang sama juga sungguh keterlaluan. Apakah kita layak dikatakan generasi pembaharu? renungkanlah.

Yogyakarta, sabtu 6 Februari 2016 @23.30

#GerakanIndonesiaMembaca
        

        
1 Fransisca Ria Susanti, Kembang – Kembang Genjer, (Yogyakarta : 2007), hlm. Xiii
2 ibid. hlm. 105
Monumen Kresek di Madiun www.panoramio.com
Korban Keganasan PKI www.eastjava.com


lubang buaya 5berita.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAMMI DAN PERGULATAN REFORMASI

PERAN INSTRUKTUR DALAM PEMBIBITAN KADER KAMMI

KEBERHASILAN DAUROH DALAM MEMBENTUK KADER MUSLIM NEGARAWAN